Dalam mitologi, Bangsa Minahasa adalah keturunan
Toar-Lumimuut. Sebelum bernama Minahasa, tanah yang didiami bangsa ini disebut
Tanah Malesung. Bangsa
Minahasa hidup berdampingan dengan bangsa Bolaang dan Mongondow yang mendiami
tanah di sebelah selatan Tanah Malesung dan seiring dengan perjalanan waktu,
disamping hidup berdampingan, kedua bangsa ini pun kemudian hidup kawin-mawin,
namun tidak dapat hidup bersama dalam satu pemerintahan.
Karena, negeri Bolaang dan Mongondow memiliki
pemerintahan kerajaan sendiri, sedangkan Bangsa Malesung tidak pernah mengenal
adanya pemerintahan kerajaan dan tidak pernah mau diperintah oleh raja manapun.
Itulah kemudian bangsa Minahasa memilih hidup berkelompok-kelompok berdasarkan
turunan keluarga-keluarga atau disebut Taranak diwilayah-wilayah yang telah
dibagi-bagi di Watu Pinawetengan, menurut bahasa dan ritual agama (Posan atau
Fosoh) masing-masing. Wilayah-wilayah di Tanah Malesung ini kemudian dinamakan
Walak. Dan pemimpin dalam wilayah-wilayah itu disebut Kepala Walak.
===
Sebab-Sebab Munculnya Perseteruan Malesung dengan
Mongondow :
Kehidupan berdampingan dengan bangsa Bolaang dan Mongondow
ini juga sering terganggu oleh beberapa hal, yaitu seperti masalah
pendudukan-pendudukan wilayah yang dilakukan oleh bangsa Mongondow di Tanah Malesung.
Kemudian, terjadilah suatu peristiwa besar yang memicu
terjadinya perang besar di negeri Bolaang Mongondouw itu, yaitu dimulai oleh
suatu peristiwa “Perang Saudara” untuk perebutan kekuasaan kerajaan antara Datu Poli’I (Ramopoli'i atau Damopili’i) dari
keturunan Intu-intu dari bangsa Rumojoporong (cikal bakal bangsa Bolaang) yang menjadi
raja di Bolaang Mongonndow itu, dengan Wantania seorang keturunan bangsa
Mongondouw yang telah pula diangkat menjadi raja di Rumoga (Dumoga).
Menurut catatan Dr. J.F.G Riedel dalam buku yang ditulisnya tahun 1862: “Hikajatnya
Tuwah Tanah Minahasa”, bahwa “Perang Saudara” Raja Datu Poli’i (Damopoli’i)
dengan Wantania (antara Bolaaang dengan Mongondouw) ini telah pula menjadi pemicu perang
besar yang berlangsung lama antara Malesung (Minahasa) dengan Mongondouw, serta inilah awal daripada munculnya semangat persatuan (se-kawanua) dan rasa persaudaraan sesama taranak
keturunan Toar-Lumimuut, hingga menuju terbentuknya nama Bangsa Minahasa menggantikan
nama Malesung.
Di sekitar tahun 1450, adalah Raja Datu Poli’I (Damopili’i),
pemimpin bangsa Bolaang itu, mengambil seorang isteri nan rupawan dan cantik jelita bernama Teteon (ada yang
menyebutnya Uwe Randen), putri dari Tiwow-Karangan, yaitu dari keturunan
Rusu-Langie (penguasa) pertama dari Pakasaan Tounkimbut (wilayah Tareran
sekarang) dari suku Tountemboan. Dari perkawinan ini, raja Datu Damopoli’i kemudian menghibahkan (mas kawin) Tanah Lewet kepada Pakasaan Tounkimbut. Tanah Lewet ini juga disebut Tanah
Besar, karena wilayahnya melingkupi Amurang, Motoling hingga Modoinding yang
sekarang menjadi wilayah Minahasa Selatan, serta sebagian wilayah Ratahan di
Minahasa Tenggara sekarang.
Akibat dari tindakan Damopoli’i yang memberikan mas kawin Tanah
Besar itu kepada Pakasaan Tounkimbut, maka terjadilah perselisihan diantara
kaum dan bangsa Bolaang dan Mongondouw yang telah menjadi satu bangsa itu.
Kemudian, oleh kaum Mongondouw mengangkat Wantania di Rumoga (Dumoga) sebagai
raja kaum Mongondow menggantikan Damopoli'i.
Maka, ketika Damapoli’i kembali ke Dumoga setelah selesai
melakukan hajatan pernikahan dengan Teteon, didapatinya Wantania telah diangkat
menjadi raja oleh kaum Mongondow, maka terjadilah perselisihan besar antara
keduanya hingga melebar menjadi perang saudara antara kaum Bolaang dan
Mongondow. Damopili’i kemudian meminta bantuan Pakasaan Tounkimbut dengan orang-orang
gagah berani pergi berperang melawan dan mengalahkan kaum Mongondow pimpinan
Wantania itu.
===
Awal Perang Malesung – Mongondow Pertama :
Pada sekitar akhir tahun 1500-an hingga awal 1600-an, ketika
Ramokian (Damokian atau Mokian) diangkat menjadi raja Bolaang Mongondow, maka
iapun ingin merebut kembali Tanah Besar yang telah dihibahkan sebagai mas kawin oleh Raja Damopolii
kepada Pakasaan Tounkimbut itu.
Ramokian kemudian masuk ke Tanah Besar melalui sisi
sungai Molompar lalu menduduki kembali seluruh wilayah Tanah Besar itu dari Pakasaan Tounkimbut dan Tountemboan. Maka terjadilah peristiwa perang, perampasan serta pendudukan oleh
Ramokian di wilayah Tanah Besar itu. Bahkan, Ramokian melakukan invasi ke
wilayah Belang-Ratahan yang ketika itu telah dihuni kaum Pasan-Wangko. Kemudian
Ramokian mengultimatum kaum Pasan-Wangko dan memungut pajak dan upeti dari
penduduk tersebut, dengan alasan bahwa negeri Tanah Besar yang didiami mereka adalah tanah wilayah milik Bolaang dan Mongondow.
Maka terjadilah kemudian, pengungsian besar sebagian kaum
Pasan-Bangko dari wilayah Belang-Ratahan dengan berpindah tempat guna menghindar dari
tekanan Ramokian, mereka kemudian pindah dan bercampur baur dengan Pakasaan Toulour,
diwilayah-wilayah Remboken, Kakas dan Tondano.
Oleh karena itu, Ramokian pun mengirimkan utusan ke
Pakasaan Toulour, mencari kaum Pasan-Wangko yang berpindah ke wilayah itu.
Ramokian menyampaikan pesan untuk memungut bagi hasil dari kaum ini.
Namun apa yang terjadi, justru hal ini juga menimbulkan
suatu peristiwa besar yang tak disangka-sangka oleh Ramokian, dimana kemudian tuntutan
Ramokian ditolak mentah-mentah oleh para tua-tua atau Teterusan (pemimpin walak)
diseluruh Toulour.
Dalam catatan J.F.G. Riedel, bahwa Teterusan Kakas yang ketika itu dipimpin oleh Montang (versi lain menyebutnya Wengkang) dan Ra’aniw. Kemudian oleh Wengkang dan Ra’aniw, pasukan suruhan dan utusan Ramokian itupun diusir dan dihalau hingga terjadi perang di Langowan, dan tinggal hanya sedikit dari utusan itu yang dapat lolos, dan dari mereka yang sempat lolos itu akhirnya menemui Ramokian dan melaporkan perlakuan yang mereka terima dari Teterusan Kakas di Pakasaan Toulour itu.
Dalam catatan J.F.G. Riedel, bahwa Teterusan Kakas yang ketika itu dipimpin oleh Montang (versi lain menyebutnya Wengkang) dan Ra’aniw. Kemudian oleh Wengkang dan Ra’aniw, pasukan suruhan dan utusan Ramokian itupun diusir dan dihalau hingga terjadi perang di Langowan, dan tinggal hanya sedikit dari utusan itu yang dapat lolos, dan dari mereka yang sempat lolos itu akhirnya menemui Ramokian dan melaporkan perlakuan yang mereka terima dari Teterusan Kakas di Pakasaan Toulour itu.
Melihat kenyataan itu, dimana pasukan utusannya yang
dipukul mundur oleh Teterusan Kakas, maka Ramokian menambah pasukan dari Mongondouw
lalu masuk hingga ke wilayah rata di Panasen, sedangkan Kakas yang dipimpin
oleh Wengkang dan Ra’aniw mendapat bantuan pasukan dari saudara-saudaranya di
Tondano yang dipimpin oleh Teterusan Gerungan. Pasukan Toulour ini mengatur
strategi perangnya di Gunung Kaweng, kemudian turun menghadapi pasukan Ramokian di Panasen.
Alkisah, bahwa perang melawan Mongondow ini begitu
dahsyatnya hingga menewaskan seorang ksatria Toulour bernama Mentang (versi lain
menyebutnya Ka’at). Ksatria Mentang adalah ayah tiri dari Teterusan Walak
Remboken bernama Retor.
Dan setelah peristiwa itu, pasukan Ramokian lalu mundur
ke pantai Mangket (sekitar Kapataran).
===
===
Munculnya Pahlawan Retor "Si Tarumetor", bersama "Ksatria Sembilan Bayang-Bayang" dalam peran dan gelar "Rimangkai Im Banua" :
Mendengar ayah tirinya tewas dalam peperangan melawan
Mongondow pimpinan Ramokian di Panasen, maka sakit hatilah Retor. Ketika
mendengar berita itu, Retor sedang duduk dan bertapa di “Batu Sesepuhan
(Sasapuan)” yang terletak di kampung Leleko, Remboken sekarang. Kemudian, maka
naiklah Retor dari Batu Sasapuan itu ke bukit diatas tempat itu, dan berdiri menghadap ke arah
wilayah Panasen, lalu berteriaklah Retor sekeras-kerasnya untuk melampiaskan
amarahnya itu.
Ditempat itu, Retor berteriak keras-keras dan mengumandangkan pekikkan yang kemudian
menjadi sangat terkenal dan menjadi “semboyan perang” bangsa Malesung mulai
saat itu dan oleh bangsa Minahasa hingga saat ini.
Adapun, pekikan yang dikumandangkan Retor dari tempat itu
berbunyi “I JAJAT U SANTI’,
yang artinya “ANGKATLAH PEDANGMU”,
sebagai seruan untuk menyatakan perang.
Konon, “teriakan dan pekikkan” Retor itu menggema hingga ke seluruh
penduduk Remboken bahkan keseluruh perkampungan dipinggiran danau Tondano
(Toulour) itu. Maka, kemudian tempat dimana Retor berdiri mengumandangkan “pekikkan”
I JAJAT U SANTI itu kemudian dinamakan “Patalinga’an” hingga sekarang, yang
artinya “Tempat dimana TERDENGARNYA pekikkan atau seruan perang”.
Mendengar seruan Retor dari Patalingaan, datanglah
beberapa teterusan (ksatria) Remboken menemui Retor di Batu Sasapuan. Mereka
adalah Kembi (Kambil), Pakele, Sumayou (Sumoyop), Kawengian, Koagouw, Sumarauw,
Kowaas dan Sendouw. Mereka itu yang adalah para ksatria, bersama-sama Retor
kemudian oleh para pasukan perang Malesung disebut dengan “Ksatria Sembilan
Bayang-Bayang” karena jumlah mereka adalah “sembilan orang” yang mampu bergerak
cepat dan bagaikan bayang-bayang yang tak dapat ditebas parang dan tak dapat ditembus tikaman tombak.
Ketika sampai ditempat itu, mereka mendapati Retor sedang
“kesurupan (kerasukan)” dengan menari-nari dengan pedangnya, mirip seperti
sedang berperang, sehingga tarian itu kemudian menjadi terkenal hingga sekarang
dengan sebutan “TARIAN KABASARAN”.
(... Dalam perkembangan seni tari perang KABASARAN dikemudian hari hingga hari-hari ini, pemimpin tarian perang KABASARAN ini selalu disebut "MAKAPETOR", yang dalam pengertian aslinya adalah: "Yang Berperan Sebagai Retor, Si Pemimpin Perang Dengan Pedang Di Tangan" ...)
Sejak saat itu, ketika hendak memulai perang dan atau hendak menyerang musuh, Retor bagaikan kesurupan dan menari-nari perang, maka kemudian munculah panggilan nama baru buat Retor, yaitu “Si TARUMETOR”, yang artinya “Si Retor Yang Kesurupan dan Bernari-Nari Perang”
Maka, setelah para “Ksatria Sembilan Bayang-Bayang” itu
berkumpul dan membuat strategi perang di Batu Sasapuan, maka majulah mereka dengan
pimpinan Retor “Si Tarumetor” menuju Mangket (Kapataran) sembari memekikkan
seruan perang “I Jajat U Santi” … !!!
Dalam bukunya “Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa” karya
tahun 1862, J.G.F Riedel menggambarkan bahwa serangan Retor “Si Tarumetor”
bersama teman-temannya yang tergabung dalam “Ksatria Sembilan Bayang-Bayang”
itu telah menjadikan amuk dan huru-hara besar, menenggelamkan kapal-kapal dan
perahu-perahu pasukan Mongondow, serta dengan pedangnya, Retor “Si Tarumetor” membunuh
Raja Ramokian (Mokijan) serta memenggal kepalanya lalu kepala Ramokian itu
dibawa dan disimpan di sebuah rumah di Remboken. Hingga pada hari dimana Riedel
menulis buku itu, tengkorak Ramokian masih tersimpan di Rumah Loji di Remboken
dan bahkan oleh sebagian orang tengkorak itu dijadikan sarana ritual untuk
mengenang kemenangan Bangsa Minahasa melawan Mongondow, serta mengenang
kepahlawanan Retor “Si Tarumetor”.
Dalam kisah dan peristiwa perang Malesung (Minahasa) melawan
Mongondow pertama ini, telah menghasilkan beberapa hal penting, yaitu munculnya
semboyan “Seruan Perang” bangsa Malesung (Minahasa), yaitu semboyan “I JAJAT U
SANTI”, juga “Tarian Perang” Tarumetor yang kemudian dikenal dengan nama “KABASARAN”
menjadi peninggalan budaya dan seni perang turun-temurun hingga sekarang.
Dan pula, satu hal yang patut menjadi catatan penting
sejarah Minahasa, dimana bahwa sejak kemenangan perang yang dipimpin Retor “Si
Tarumetor” itu, maka wilayah “TANAH BESAR” yang telah dipersengketakan oleh
Mongondow itu, kemudian berhasil direbut kembali dari tangan Ramokian dan bangsa Bolaang Mongondow secara penuh dan kemudian menjadi milik dan wilayah Tanah Malesung
(Minahasa), dengan Sungai Poigar sebagai batasnya yang dimulai pada waktu itu.
Wilayah Tanah Besar itu bukan saja kemudian hanya
diduduki oleh Pakasaan Tounkimbut dan Tontemboan, tetapi juga oleh Pasan-Wangko
dan Toulour, yaitu dengan membuat perkampungan-perkampungan di Modoinding dan
Tompaso Baru hingga sekarang.
Dan atas peran dari Retor “Si Tarumetor” itulah, maka
oleh para pemimpin Malesung ketika itu kemudian memberikan gelar bagi Retor “Si
Tarumetor” dengan gelar yang sangat monumental hingga sekarang, yaitu gelar “RIMANGKAI IM BANUA” yang artinya, “YANG (TELAH) MENYATUKAN TANAH DAN WILAYAH
MALESUNG (MINAHASA)”, karena TANAH BESAR diselatan itu berhasil direbut kembali dari kekuasaan Bolaang Mongondow.
Sejarah kemudian mencatat bahwa perseteruan-perseteruan
antara Minahasa dan Mongondow ini tidak terlepas dari persoalan Tanah Besar
itu, serta pula bagaimana keterlibatan para PEREMPUAN Minahasa yang cantik-cantik yang begitu mempesona para raja Mongondow itu, telah menjadi juga salah-satu akar
perseteruan yang berbuntut perang besar.
Bahkan, ketika Mongondouw kemudian dipimpin raja Loloda Mokoagow (Datu Binangkang / Winangkang), persoalan putri jelita Minahasa dan Tanah Besar kemudian menjadi sebab-musabab terjadinya perang.
Bahkan, ketika Mongondouw kemudian dipimpin raja Loloda Mokoagow (Datu Binangkang / Winangkang), persoalan putri jelita Minahasa dan Tanah Besar kemudian menjadi sebab-musabab terjadinya perang.
Sejarah mencatat, seperti yang ditulis J.G.F. Riedel dalam
bukunya “Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa” itu, bahwa kemudian, raja Loloda
Mokoagouw terlibat dalam skandal “Pingkan-Matindas” yang melegenda serta keinginannya untuk
merebut kembali Tanah Besar itu, telah menciptakan kondisi perang berkelanjutan
antara bangsa Malesung dengan Mongondouw.
Dalam perkembangan berikutnya, perselisihan dan perseteruan kedua bangsa ini telah menimbulkan peperangan-peperangan besar berikutnya yang ikut melibatkan bangsa-bangsa Eropa yang masuk dan ingin memberikan pengaruh untuk suatu kepentingan seperti yang dilakukan oleh bangsa Portugis, Spanyol hingga Belanda.
Dari rangkaian peristiwa-peristiwa besar tersebut, justru telah pula melahirkan pahlawan-pahlawan bangsa Minahasa berikutnya yang begitu banyaknya, hingga kemudian pada suatu ketika muncul para penggagas persatuan bangsa Malesung dalam menghadapi gangguan Mongondow dan Spanyol, seperti: SUPIT, PAAT dan LONTOH yang mencetuskan semangat MAHASA atau MAESA, dimana istilah itu kemudian menjadi lebih dikenal dengan sebutan MINAHASA yang secara “de jure” diperoleh melalui pengakuan RESMI oleh bangsa Eropa, yaitu Belanda melalui PERJANJIAN yang disebut “VERBOND 10 JANUARI 1679”.
Dalam perkembangan berikutnya, perselisihan dan perseteruan kedua bangsa ini telah menimbulkan peperangan-peperangan besar berikutnya yang ikut melibatkan bangsa-bangsa Eropa yang masuk dan ingin memberikan pengaruh untuk suatu kepentingan seperti yang dilakukan oleh bangsa Portugis, Spanyol hingga Belanda.
Dari rangkaian peristiwa-peristiwa besar tersebut, justru telah pula melahirkan pahlawan-pahlawan bangsa Minahasa berikutnya yang begitu banyaknya, hingga kemudian pada suatu ketika muncul para penggagas persatuan bangsa Malesung dalam menghadapi gangguan Mongondow dan Spanyol, seperti: SUPIT, PAAT dan LONTOH yang mencetuskan semangat MAHASA atau MAESA, dimana istilah itu kemudian menjadi lebih dikenal dengan sebutan MINAHASA yang secara “de jure” diperoleh melalui pengakuan RESMI oleh bangsa Eropa, yaitu Belanda melalui PERJANJIAN yang disebut “VERBOND 10 JANUARI 1679”.
Pada perkembangannya selanjutnya, pada tanggal 21 September 1694, telah dibuat suatu
kesepakatan antara kepala-kepala Walak dan Pakasaan Minahasa dengan Raja
Bolaang Mongondow, Jacobus Manoppo, dimana Tanjung Poigar ditetapkan sebagai batas
wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow.
Kemudian pada tanggal 12 Maret 1907, Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 30, dengan menetapkan batas wilayah Minahasa
dan Bolaang Mongondow adalah Sungai Poigar, Gunung Muntoi dan Danau Modoinding (Danau
Moat) masuk menjadi milik Minahasa.
====
Sumber-sumber:
-
“Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa”, JFG Riedel
(1862)
- ---- Berbagai sumber buku dan bacaan ----
- ---- Berbagai sumber cerita & tuturan (folklore) rakyat Minahasa ---
- ---- Berbagai sumber cerita & tuturan (folklore) rakyat Minahasa ---
===