Kamis, 09 September 1999

RETOR "SI TARUMETOR" --- “Ksatria Sembilan Bayang-Bayang”, --- “Si Rimangkai Im Banua”



Dalam mitologi, Bangsa Minahasa adalah keturunan Toar-Lumimuut. Sebelum bernama Minahasa, tanah yang didiami bangsa ini disebut Tanah Malesung. Bangsa Minahasa hidup berdampingan dengan bangsa Bolaang dan Mongondow yang mendiami tanah di sebelah selatan Tanah Malesung dan seiring dengan perjalanan waktu, disamping hidup berdampingan, kedua bangsa ini pun kemudian hidup kawin-mawin, namun tidak dapat hidup bersama dalam satu pemerintahan.

Karena, negeri Bolaang dan Mongondow memiliki pemerintahan kerajaan sendiri, sedangkan Bangsa Malesung tidak pernah mengenal adanya pemerintahan kerajaan dan tidak pernah mau diperintah oleh raja manapun. Itulah kemudian bangsa Minahasa memilih hidup berkelompok-kelompok berdasarkan turunan keluarga-keluarga atau disebut Taranak diwilayah-wilayah yang telah dibagi-bagi di Watu Pinawetengan, menurut bahasa dan ritual agama (Posan atau Fosoh) masing-masing. Wilayah-wilayah di Tanah Malesung ini kemudian dinamakan Walak. Dan pemimpin dalam wilayah-wilayah itu disebut Kepala Walak.

===
Sebab-Sebab Munculnya Perseteruan Malesung dengan Mongondow :

Kehidupan berdampingan dengan bangsa Bolaang dan Mongondow ini juga sering terganggu oleh beberapa hal, yaitu seperti masalah pendudukan-pendudukan wilayah yang dilakukan oleh bangsa Mongondow di Tanah Malesung.

Kemudian, terjadilah suatu peristiwa besar yang memicu terjadinya perang besar di negeri Bolaang Mongondouw itu, yaitu dimulai oleh suatu peristiwa “Perang Saudara” untuk perebutan kekuasaan kerajaan antara Datu Poli’I (Ramopoli'i atau Damopili’i) dari keturunan Intu-intu dari bangsa Rumojoporong (cikal bakal bangsa Bolaang) yang menjadi raja di Bolaang Mongonndow itu, dengan Wantania seorang keturunan bangsa Mongondouw yang telah pula diangkat menjadi raja di Rumoga (Dumoga).

Menurut catatan Dr. J.F.G Riedel dalam buku yang ditulisnya tahun 1862: “Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa”, bahwa “Perang Saudara” Raja Datu Poli’i (Damopoli’i) dengan Wantania (antara Bolaaang dengan Mongondouw) ini telah pula menjadi pemicu perang besar yang berlangsung lama antara Malesung (Minahasa) dengan Mongondouw, serta inilah awal daripada munculnya semangat persatuan (se-kawanua) dan rasa persaudaraan sesama taranak keturunan Toar-Lumimuut, hingga menuju terbentuknya nama Bangsa Minahasa menggantikan nama Malesung.

Di sekitar tahun 1450, adalah Raja Datu Poli’I (Damopili’i), pemimpin bangsa Bolaang itu, mengambil seorang isteri  nan rupawan dan cantik jelita bernama Teteon (ada yang menyebutnya Uwe Randen), putri dari Tiwow-Karangan, yaitu dari keturunan Rusu-Langie (penguasa) pertama dari Pakasaan Tounkimbut (wilayah Tareran sekarang) dari suku Tountemboan. Dari perkawinan ini, raja Datu Damopoli’i kemudian menghibahkan (mas kawin) Tanah Lewet kepada Pakasaan Tounkimbut. Tanah Lewet ini juga disebut Tanah Besar, karena wilayahnya melingkupi Amurang, Motoling hingga Modoinding yang sekarang menjadi wilayah Minahasa Selatan, serta sebagian wilayah Ratahan di Minahasa Tenggara sekarang.

Akibat dari tindakan Damopoli’i yang memberikan mas kawin Tanah Besar itu kepada Pakasaan Tounkimbut, maka terjadilah perselisihan diantara kaum dan bangsa Bolaang dan Mongondouw yang telah menjadi satu bangsa itu. Kemudian, oleh kaum Mongondouw mengangkat Wantania di Rumoga (Dumoga) sebagai raja kaum Mongondow menggantikan Damopoli'i.

Maka, ketika Damapoli’i kembali ke Dumoga setelah selesai melakukan hajatan pernikahan dengan Teteon, didapatinya Wantania telah diangkat menjadi raja oleh kaum Mongondow, maka terjadilah perselisihan besar antara keduanya hingga melebar menjadi perang saudara antara kaum Bolaang dan Mongondow. Damopili’i kemudian meminta bantuan Pakasaan Tounkimbut dengan orang-orang gagah berani pergi berperang melawan dan mengalahkan kaum Mongondow pimpinan Wantania itu.

===

Awal Perang Malesung – Mongondow Pertama :

Pada sekitar akhir tahun 1500-an hingga awal 1600-an, ketika Ramokian (Damokian atau Mokian) diangkat menjadi raja Bolaang Mongondow, maka iapun ingin merebut kembali Tanah Besar yang telah dihibahkan sebagai mas kawin oleh Raja Damopolii kepada Pakasaan Tounkimbut itu.

Ramokian kemudian masuk ke Tanah Besar melalui sisi sungai Molompar lalu menduduki kembali seluruh wilayah Tanah Besar itu dari Pakasaan Tounkimbut dan Tountemboan. Maka terjadilah peristiwa perang, perampasan serta pendudukan oleh Ramokian di wilayah Tanah Besar itu. Bahkan, Ramokian melakukan invasi ke wilayah Belang-Ratahan yang ketika itu telah dihuni kaum Pasan-Wangko. Kemudian Ramokian mengultimatum kaum Pasan-Wangko dan memungut pajak dan upeti dari penduduk tersebut, dengan alasan bahwa negeri Tanah Besar yang didiami mereka adalah tanah wilayah milik Bolaang dan Mongondow.

Maka terjadilah kemudian, pengungsian besar sebagian kaum Pasan-Bangko dari wilayah Belang-Ratahan dengan berpindah tempat guna menghindar dari tekanan Ramokian, mereka kemudian pindah dan bercampur baur dengan Pakasaan Toulour, diwilayah-wilayah Remboken, Kakas dan Tondano.

Oleh karena itu, Ramokian pun mengirimkan utusan ke Pakasaan Toulour, mencari kaum Pasan-Wangko yang berpindah ke wilayah itu. Ramokian menyampaikan pesan untuk memungut bagi hasil dari kaum ini.
Namun apa yang terjadi, justru hal ini juga menimbulkan suatu peristiwa besar yang tak disangka-sangka oleh Ramokian, dimana kemudian tuntutan Ramokian ditolak mentah-mentah oleh para tua-tua atau Teterusan (pemimpin walak) diseluruh Toulour.
Dalam catatan J.F.G. Riedel, bahwa Teterusan Kakas yang ketika itu dipimpin oleh Montang (versi lain menyebutnya Wengkang) dan Ra’aniw. Kemudian oleh Wengkang dan Ra’aniw, pasukan suruhan dan utusan Ramokian itupun diusir dan dihalau hingga terjadi perang di Langowan, dan tinggal hanya sedikit dari utusan itu yang dapat lolos, dan dari mereka yang sempat lolos itu akhirnya menemui Ramokian dan melaporkan perlakuan yang mereka terima dari Teterusan Kakas di Pakasaan Toulour itu.

Melihat kenyataan itu, dimana pasukan utusannya yang dipukul mundur oleh Teterusan Kakas, maka Ramokian menambah pasukan dari Mongondouw lalu masuk hingga ke wilayah rata di Panasen, sedangkan Kakas yang dipimpin oleh Wengkang dan Ra’aniw mendapat bantuan pasukan dari saudara-saudaranya di Tondano yang dipimpin oleh Teterusan Gerungan. Pasukan Toulour ini mengatur strategi perangnya di Gunung Kaweng, kemudian turun menghadapi pasukan Ramokian di Panasen.

Alkisah, bahwa perang melawan Mongondow ini begitu dahsyatnya hingga menewaskan seorang ksatria Toulour bernama Mentang (versi lain menyebutnya Ka’at). Ksatria Mentang adalah ayah tiri dari Teterusan Walak Remboken bernama Retor.
Dan setelah peristiwa itu, pasukan Ramokian lalu mundur ke pantai Mangket (sekitar Kapataran).

===

Munculnya Pahlawan Retor "Si Tarumetor", bersama "Ksatria Sembilan Bayang-Bayang" dalam peran dan gelar "Rimangkai Im Banua" :

Mendengar ayah tirinya tewas dalam peperangan melawan Mongondow pimpinan Ramokian di Panasen, maka sakit hatilah Retor. Ketika mendengar berita itu, Retor sedang duduk dan bertapa di “Batu Sesepuhan (Sasapuan)” yang terletak di kampung Leleko, Remboken sekarang. Kemudian, maka naiklah Retor dari Batu Sasapuan itu ke bukit diatas tempat itu, dan berdiri menghadap ke arah wilayah Panasen, lalu berteriaklah Retor sekeras-kerasnya untuk melampiaskan amarahnya itu.

Ditempat itu, Retor berteriak keras-keras dan mengumandangkan pekikkan yang kemudian menjadi sangat terkenal dan menjadi “semboyan perang” bangsa Malesung mulai saat itu dan oleh bangsa Minahasa hingga saat ini.
Adapun, pekikan yang dikumandangkan Retor dari tempat itu berbunyi “I JAJAT U SANTI’, yang artinya “ANGKATLAH  PEDANGMU”, sebagai seruan untuk menyatakan perang.

Konon, “teriakan dan pekikkan” Retor itu menggema hingga ke seluruh penduduk Remboken bahkan keseluruh perkampungan dipinggiran danau Tondano (Toulour) itu. Maka, kemudian tempat dimana Retor berdiri mengumandangkan “pekikkan” I JAJAT U SANTI itu kemudian dinamakan “Patalinga’an” hingga sekarang, yang artinya “Tempat dimana TERDENGARNYA pekikkan atau seruan perang”.

Mendengar seruan Retor dari Patalingaan, datanglah beberapa teterusan (ksatria) Remboken menemui Retor di Batu Sasapuan. Mereka adalah Kembi (Kambil), Pakele, Sumayou (Sumoyop), Kawengian, Koagouw, Sumarauw, Kowaas dan Sendouw. Mereka itu yang adalah para ksatria, bersama-sama Retor kemudian oleh para pasukan perang Malesung disebut dengan “Ksatria Sembilan Bayang-Bayang” karena jumlah mereka adalah “sembilan orang” yang mampu bergerak cepat dan bagaikan bayang-bayang yang tak dapat ditebas parang dan tak dapat ditembus tikaman tombak.

Ketika sampai ditempat itu, mereka mendapati Retor sedang “kesurupan (kerasukan)” dengan menari-nari dengan pedangnya, mirip seperti sedang berperang, sehingga tarian itu kemudian menjadi terkenal hingga sekarang dengan sebutan “TARIAN KABASARAN”. 

(... Dalam perkembangan seni tari perang KABASARAN dikemudian hari hingga hari-hari ini, pemimpin tarian perang KABASARAN ini selalu disebut "MAKAPETOR", yang dalam pengertian aslinya adalah: "Yang Berperan Sebagai Retor, Si Pemimpin Perang Dengan Pedang Di Tangan" ...)

Sejak saat itu, ketika hendak memulai perang dan atau hendak menyerang musuh, Retor bagaikan kesurupan dan menari-nari perang, maka kemudian munculah panggilan nama baru buat Retor, yaitu “Si TARUMETOR”, yang artinya “Si Retor Yang Kesurupan dan Bernari-Nari Perang”

Maka, setelah para “Ksatria Sembilan Bayang-Bayang” itu berkumpul dan membuat strategi perang di Batu Sasapuan, maka majulah mereka dengan pimpinan Retor “Si Tarumetor” menuju Mangket (Kapataran) sembari memekikkan seruan perang “I Jajat U Santi” … !!!

Dalam bukunya “Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa” karya tahun 1862, J.G.F Riedel menggambarkan bahwa serangan Retor “Si Tarumetor” bersama teman-temannya yang tergabung dalam “Ksatria Sembilan Bayang-Bayang” itu telah menjadikan amuk dan huru-hara besar, menenggelamkan kapal-kapal dan perahu-perahu pasukan Mongondow, serta dengan pedangnya, Retor “Si Tarumetor” membunuh Raja Ramokian (Mokijan) serta memenggal kepalanya lalu kepala Ramokian itu dibawa dan disimpan di sebuah rumah di Remboken. Hingga pada hari dimana Riedel menulis buku itu, tengkorak Ramokian masih tersimpan di Rumah Loji di Remboken dan bahkan oleh sebagian orang tengkorak itu dijadikan sarana ritual untuk mengenang kemenangan Bangsa Minahasa melawan Mongondow, serta mengenang kepahlawanan Retor “Si Tarumetor”.

Dalam kisah dan peristiwa perang Malesung (Minahasa) melawan Mongondow pertama ini, telah menghasilkan beberapa hal penting, yaitu munculnya semboyan “Seruan Perang” bangsa Malesung (Minahasa), yaitu semboyan “I JAJAT U SANTI”, juga “Tarian Perang” Tarumetor yang kemudian dikenal dengan nama “KABASARAN” menjadi peninggalan budaya dan seni perang turun-temurun hingga sekarang.

Dan pula, satu hal yang patut menjadi catatan penting sejarah Minahasa, dimana bahwa sejak kemenangan perang yang dipimpin Retor “Si Tarumetor” itu, maka wilayah “TANAH BESAR” yang telah dipersengketakan oleh Mongondow itu, kemudian berhasil direbut kembali dari tangan Ramokian dan bangsa Bolaang Mongondow secara penuh dan kemudian menjadi milik dan wilayah Tanah Malesung (Minahasa), dengan Sungai Poigar sebagai batasnya yang dimulai pada waktu itu.

Wilayah Tanah Besar itu bukan saja kemudian hanya diduduki oleh Pakasaan Tounkimbut dan Tontemboan, tetapi juga oleh Pasan-Wangko dan Toulour, yaitu dengan membuat perkampungan-perkampungan di Modoinding dan Tompaso Baru hingga sekarang.

Dan atas peran dari Retor “Si Tarumetor” itulah, maka oleh para pemimpin Malesung ketika itu kemudian memberikan gelar bagi Retor “Si Tarumetor” dengan gelar yang sangat monumental hingga sekarang, yaitu gelar “RIMANGKAI IM BANUA” yang artinya, “YANG (TELAH) MENYATUKAN TANAH DAN WILAYAH MALESUNG (MINAHASA)”, karena TANAH BESAR diselatan itu berhasil direbut kembali dari kekuasaan Bolaang Mongondow.

Sejarah kemudian mencatat bahwa perseteruan-perseteruan antara Minahasa dan Mongondow ini tidak terlepas dari persoalan Tanah Besar itu, serta pula bagaimana keterlibatan para PEREMPUAN Minahasa yang cantik-cantik yang begitu mempesona para raja Mongondow itu, telah menjadi  juga salah-satu akar perseteruan yang berbuntut perang besar.
Bahkan, ketika Mongondouw kemudian dipimpin raja Loloda Mokoagow (Datu Binangkang / Winangkang), persoalan putri jelita Minahasa dan Tanah Besar kemudian menjadi sebab-musabab terjadinya perang.

Sejarah mencatat, seperti yang ditulis J.G.F. Riedel dalam bukunya “Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa” itu, bahwa kemudian, raja Loloda Mokoagouw terlibat dalam skandal “Pingkan-Matindas” yang melegenda serta keinginannya untuk merebut kembali Tanah Besar itu, telah menciptakan kondisi perang berkelanjutan antara bangsa Malesung dengan Mongondouw.

Dalam perkembangan berikutnya, perselisihan dan perseteruan kedua bangsa ini telah menimbulkan peperangan-peperangan besar berikutnya yang ikut melibatkan bangsa-bangsa Eropa yang masuk dan ingin memberikan pengaruh untuk suatu kepentingan seperti yang dilakukan oleh bangsa Portugis, Spanyol hingga Belanda.

Dari rangkaian peristiwa-peristiwa besar tersebut, justru telah pula melahirkan pahlawan-pahlawan bangsa Minahasa berikutnya yang begitu banyaknya, hingga kemudian pada suatu ketika muncul para penggagas persatuan bangsa Malesung dalam menghadapi gangguan Mongondow dan Spanyol, seperti: SUPIT, PAAT dan LONTOH yang mencetuskan semangat MAHASA atau MAESA, dimana istilah itu kemudian menjadi lebih dikenal dengan sebutan MINAHASA yang secara “de jure” diperoleh melalui pengakuan RESMI oleh bangsa Eropa, yaitu Belanda melalui PERJANJIAN yang disebut “VERBOND 10 JANUARI 1679”.

Pada perkembangannya selanjutnya, pada tanggal 21 September 1694, telah dibuat suatu kesepakatan antara kepala-kepala Walak dan Pakasaan Minahasa dengan Raja Bolaang Mongondow, Jacobus Manoppo, dimana Tanjung Poigar ditetapkan sebagai batas wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow.
Kemudian pada tanggal 12 Maret 1907, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 30, dengan menetapkan batas wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow adalah Sungai Poigar, Gunung Muntoi dan Danau Modoinding (Danau Moat) masuk menjadi milik Minahasa.

====

Sumber-sumber:
-          “Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa”, JFG Riedel (1862)    
-      ---- Berbagai sumber buku dan bacaan ----
-     ---- Berbagai sumber cerita & tuturan (folklore) rakyat Minahasa ---

===

LEGENDA WANGKO NE PAREPEI - REMBOKEN ABAD KE-7



LEGENDA RAKSASA PAREPEI

(SI WANGKO PAREPEI)

Pada sekitar abad ke-7, di sebuah desa di wilayah Remboken, hiduplah seorang bertubuh raksasa bernama Parepei. Nama asli yang diberikan oleh orang tuanya adalah Malonda.
Disebut Parepei, karena setiap kali Malonda meregangkan tulang-tulangnya, menimbulkan bunyi peregangan tulang yang cukup kuat, yaitu: “parepepei” hingga terdengar sampai ke ujung kampung. Maka kemudian Malonda dipanggil Si Parepei, yang artinya: “bunyi peregangan tulang yang terdengar sangat keras”.

Kelak kemudian, tempat kelahiran Malonda juga dinamakan kampung atau desa Parepei, diambil dari panggilan Si Raksasa Parepei atau Si Wangko Parepei itu. Dan penduduk juga mengakui bahwa Parepei adalah desa tertua di wilayah Kawatuan Remboken.

Tentang Si Raksasa Parepei, dalam narasi yang ditulis oleh Nicolaas Grafland dalam bukunya De Minahasa. Haar verleden en tegenwoordige toestand , digambarkan seperti ini:

---

"Kepalanya berada sejajar di tengah dua kaki yang lebar, dan lengannya seperti pohon pisang, dengan sepuluh jari yang menakutkan serta menebarkan ketakutan bagi mereka yang menatap padanya

Telapak kakinya selebar daun pisang, dan saat dia menginjak bumi dia membuatnya bergetar seperti beban berat yang jatuh kebawah. 

Setiap orang yang melihat dia, menjadi pucat dan melarikan diri sebelum dia mengeluarkan pedangnya. Hal ini menakutkan baik bagi teman disekitarnya apalagi bagi musuh."

---

Namun, bagi orang Remboken, Parepei tumbuh menjadi seorang ksatria bahkan kemudian diangkat menjadi Tonaas. Si Parepei yang bertubuh raksasa ini kemudian menjadi penguasa di Remboken, dan bahkan dimasa itu, Parepei kemudian menaklukkan dan menguasai seluruh wilayah Malesung (nama Minahasa ketika itu).

Konon, telah terjadi perebutan wilayah Malesung oleh keturunan Toar-Lumimuut hingga sampai pada abad ke-7, dan telah diakhiri dalam kesepakatan pembagian wilayah Malesung di Watu Pinawetengan pada tahun 670. Sebelum terjadi kesepakatan itu, peperangan antar kampung sering terjadi untuk saling menguasai.

Si Raksasa Parepei merupakan pahlawan Remboken dalam menaklukkan dan menguasai wilayah Malesung hingga sampai pada suatu ketika penduduk Tomohon menyatakan perang untuk melepaskan diri dari kekuasaan Remboken, dimana Si Raksasa Parepei mendapatkan perlawanan dari ksatria Tumalun dari Tomohon. Dalam kisah pertarungan antara Parepei melawan Tumalun, Parepei harus mengakui kemenangan Tumalun, maka kemudian Tomohon lepas dari kekuasaan Remboken.

========

Berikut adalah narasi Legenda Si Raksasa Parepei yang ditulis oleh Nicolaas Grafland dalam bukunya De Minahasa. Haar verleden en tegenwoordige toestand”, pada tahun 1867.

LEGENDE

Er leefde vóór eeuwen een man op de bergen: zijn naam was Parepej;
Remboken, zijn woonplaats was trotsch op zijn sterkte, en pochte op zijn' moed en zijn kracht.

Geen oorlog of veete kon ooit hen verschrikken , hoe dikwils bedreigd;
Want daar was Parepej , om 't pleit te beslechten , - als kamp vechter groot en geducht.

En wel mogt Remboken op hem zich verheffen en steunen in nood:
Want reus, als hij was, deed hij mannen verbleeken, en vlugten , beducht voor zijn zwaard.

Zgn hoofd had in't midden twee voet in de breedte;
Zgn armen, den pisang gelgk, vertoonden aan't einde tien vreeslijke vingers, die schrik en ontzetting verspreidden.

De voeten, het blad van den pisang herinrend, betraden den grond;
En stampten dien dreunend met centenaars zwaarte, vreeswekkend voor vijand en vriend.

Nu was in den tijd van Parepej, den sterke, een oorlog ontstaan:
Remboken bestreed toen het volk van Tomobon, om oorzaken klein en gering.

De held van Remboken was daaglijks ten aanstoot, op’s vijands gebied;
En roofde of vernielde, wat reisde of rustte, tot smart en ten spot van Tomohon.

Maar niemand verhief zich om weerstand te bieden; men vreesde den reus:
Een slag van zijn zwaard kon een tiental verpletten, - wat zou dan een enkele man?

Maar eindelyk, - wat hoop en geluk voor Tomohon! - vertoont zich een wederpartij.
Toemaloen is sterk, en zyn volk zal hg wreken: hij dreigt zelfs den reus te verslaan.

Dat was nu een vreugd voor 't beangste Tomohon! De moed was hersteld in hun hart:
Nu klonk de kolintang, of feesttgd hun beidde , - tot eer van Toemaloen den held.

Toch mogt men den strijd niet ligtvaardig beginnen; te veel hing er af van de kans!
Eerst moest men Toemaloen behoorlgk verzorgen: hem schonk men het vette der aarde.

De krggsheld won daaglgks in moed en in sterkte; hij juichte den strijd te gemoet;
En zwoer bij de goden, den reus te vernederen, - zgn volk te bevrgden van smaad.

Nu volgden de proeven van vlugheid en sterkte - al't volk was te zaam;
Door fosso werd de uitslag den goden bevolen, als of't strijden een' aanvang zou nemen.

De pisangboom, week en zeer ligt te doorklieven, stond eerst hem ten doel:
Met sabel of klewang moest Toemaloen (1) hem vellen, of weg was hun moed en hun juichen!

Het glansende staal ongelooflijk in snelheid - den bliksem gelgk -
Klieft sissend door luchtstroom en pisangboom henen, - en boort zijne punt in den grond.

Toen juichten de scharen en klonk de kolintang, - de nektar verhoogde de vreugd;
En luider nog prees men den naam van Toemaloen, - den held, die zijn volk zou verlossen.

De hals van Parepej, van harder gehalte, vroeg zwaar deren slag;
Dus koos men den piiang, wel kleiner van omvang, maar harder van hout.

Met sabel of klewang moest Maloen hem vellen, of weg was hun hoop !
Dies wachtten zg zwygend en angstig den uitslag; zoo zeer was hun oog op Toemaloen alléén.

Weer kliefde het wapen, zoo krachtig gedreven, èn luchtstroom èn boom;
En 't zwaard was nog dieper in de aarde gezonken, tot aller verwondering en vreugd.

Toen juichten de scharen en klonk de kolintang; de nektar verhoogde de vreugd:
En luider nog steeg weer de lof van Toemaloen, den held, die zgn volk zou verlossen!

Nog sterker een proef moest de krijgsheld nu geven van vlugheid en kracht;
De seho, zoo hard als men boom slechts kan denken, zou vallen door't vlijmende lemmet.

Met sabel of klewang moest Maloen hem vellen, of weg waren geestkracht en moed;
Dies wachtten zij zwijgend en angstig den uitslag: zóó zeer was hun oog op Toemaloen alleen.

Nu kliefde het schitterende wapen den luchtstroom en velde den boom:
En het volk zag bewonderend den seho gescheiden, en storten met krakend geweld.

Toen juichten de scharen en klonk de kolintang: de nektar verhoogde de vreugd;
En luider nog klom nu de roem van Toemaloen, - den held , die zijn volk zou verlossen.

Ten laatste nog moest hij een bamboe doorklieven , gevuld met de mumu der seho ;
Dit feit zou de kroon zgn op al zyne proeven , - het sein, dat het volk zou gaan strijden.

Met sabel of klewang moest Maloen dien klieven , of het volk was in rouw;
Dies wachtten zg zwijgend en angstig den uitslag: zóó zeer was hun hoop op Toemaloen alléén.

Het vlgmende moordtuig nog sterker gedreven, klieft fluitend èn luchtstroom èn bamboe;
Toemaloen staat tartend, als vroeg hij de meening - na zooveel bewgs van de kracht van zgn' arm.

Toen juichten de scharen en klonk de kolintang, de nektar verhoogde de vreugd;

En luider nog klopte hun hart voor Toemaloen, - den held, die zijn volk zou verlossen!

De strijd werd bepaald, en de kampplaats gewezen: aan den uitslag hing 't lot van het volk!
Veel beter door twee slechts den krijg te beslechten, dan 't moordveld te vullen met lijken en bloed.

Zwaar hing nog de nacht op de rustende aarde, toen gong en kolintang reeds klonken;
Toemaloen moest eten, de togt zou beginnen: - die togt zoo gevreesd als beslissend!

Parepej de sterke, van zege reeds droomend, kent vrees noch gevaar;
Aan het hoofd van Rembokens vereenigde scharen, klonk vreeslijk zijn brullen en snoeven.

Wie toch mogt het zijn , die met hem zich dorst meten, gevreesd als hg was in het rond?
Welk sterveling kon wagen Parepej te tarten, geducht door zijn' arm en zijn zwaard?

Daar stonden partgen strgdlustig te hemmen, en maten elkanders gestalte.
En het volk staarde angstig naar elke beweging, en duchtte den uitslag te aanschouwen.

>> Wat aardworm durft wagen zich vóór mg te stellen? - Wat wilt gij - gg dwerg?

>> Ik schaam mij te strijden, wijl 'k u kan verpletteren, - vermorslen met 't lid van mijn' vinger.

>> Mijn enkele voet kan uw ligchaam bedekken , vertreden in ‘t stof;
>> Verdwijn uit mijn oogen, gij nietige dwerg - of het uur van uw dood is gekomen!"

>> Ik weet wel , 'k ben kleiner , maar vrees noch uw snoeven, noch 't scherp van uw zwaard;
Want weet, dat myn arm ook zijn sterkte getoond heeft, en de deugd van mijn zwaard is beproefd.

S't ls zeker, uw roem heeft reeds verre geklonken; ik ben klein en gering;
Maar hef nu uw oog eens omhoog naar dien Kios, die klein is, en ligt, maar toch dapper"

Die list mogt gelukken: de reus was gevangen; een werpspies doorboort zijnen voet;
Een enkele ruk, en met vreeslyke woede stort het reuzengevaarte ter aarde.

Het glansende staal , ongelooflijk in snelheid - den bliksem gelijk -
Klieft sissend en trillend den nek van Parepej, en drijft nog zijn scherp in den grond.

Toen vlugtte Remboken, en juichte Tomohon! De strijd was beslist;
En luider nog klonk nu de lof van Toemaloen, - den held, die zijn volk kon verlossen.

=======

Referensi: 
--- De Minahasa. Haar verleden en tegenwoordige toestand”, (Nicolaas Grafland 1867)

--- Cerita rakyat Remboken dan Minahasa
...