Kamis, 09 September 1999

RETOR "SI TARUMETOR" --- “Ksatria Sembilan Bayang-Bayang”, --- “Si Rimangkai Im Banua”



Dalam mitologi, Bangsa Minahasa adalah keturunan Toar-Lumimuut. Sebelum bernama Minahasa, tanah yang didiami bangsa ini disebut Tanah Malesung. Bangsa Minahasa hidup berdampingan dengan bangsa Bolaang dan Mongondow yang mendiami tanah di sebelah selatan Tanah Malesung dan seiring dengan perjalanan waktu, disamping hidup berdampingan, kedua bangsa ini pun kemudian hidup kawin-mawin, namun tidak dapat hidup bersama dalam satu pemerintahan.

Karena, negeri Bolaang dan Mongondow memiliki pemerintahan kerajaan sendiri, sedangkan Bangsa Malesung tidak pernah mengenal adanya pemerintahan kerajaan dan tidak pernah mau diperintah oleh raja manapun. Itulah kemudian bangsa Minahasa memilih hidup berkelompok-kelompok berdasarkan turunan keluarga-keluarga atau disebut Taranak diwilayah-wilayah yang telah dibagi-bagi di Watu Pinawetengan, menurut bahasa dan ritual agama (Posan atau Fosoh) masing-masing. Wilayah-wilayah di Tanah Malesung ini kemudian dinamakan Walak. Dan pemimpin dalam wilayah-wilayah itu disebut Kepala Walak.

===
Sebab-Sebab Munculnya Perseteruan Malesung dengan Mongondow :

Kehidupan berdampingan dengan bangsa Bolaang dan Mongondow ini juga sering terganggu oleh beberapa hal, yaitu seperti masalah pendudukan-pendudukan wilayah yang dilakukan oleh bangsa Mongondow di Tanah Malesung.

Kemudian, terjadilah suatu peristiwa besar yang memicu terjadinya perang besar di negeri Bolaang Mongondouw itu, yaitu dimulai oleh suatu peristiwa “Perang Saudara” untuk perebutan kekuasaan kerajaan antara Datu Poli’I (Ramopoli'i atau Damopili’i) dari keturunan Intu-intu dari bangsa Rumojoporong (cikal bakal bangsa Bolaang) yang menjadi raja di Bolaang Mongonndow itu, dengan Wantania seorang keturunan bangsa Mongondouw yang telah pula diangkat menjadi raja di Rumoga (Dumoga).

Menurut catatan Dr. J.F.G Riedel dalam buku yang ditulisnya tahun 1862: “Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa”, bahwa “Perang Saudara” Raja Datu Poli’i (Damopoli’i) dengan Wantania (antara Bolaaang dengan Mongondouw) ini telah pula menjadi pemicu perang besar yang berlangsung lama antara Malesung (Minahasa) dengan Mongondouw, serta inilah awal daripada munculnya semangat persatuan (se-kawanua) dan rasa persaudaraan sesama taranak keturunan Toar-Lumimuut, hingga menuju terbentuknya nama Bangsa Minahasa menggantikan nama Malesung.

Di sekitar tahun 1450, adalah Raja Datu Poli’I (Damopili’i), pemimpin bangsa Bolaang itu, mengambil seorang isteri  nan rupawan dan cantik jelita bernama Teteon (ada yang menyebutnya Uwe Randen), putri dari Tiwow-Karangan, yaitu dari keturunan Rusu-Langie (penguasa) pertama dari Pakasaan Tounkimbut (wilayah Tareran sekarang) dari suku Tountemboan. Dari perkawinan ini, raja Datu Damopoli’i kemudian menghibahkan (mas kawin) Tanah Lewet kepada Pakasaan Tounkimbut. Tanah Lewet ini juga disebut Tanah Besar, karena wilayahnya melingkupi Amurang, Motoling hingga Modoinding yang sekarang menjadi wilayah Minahasa Selatan, serta sebagian wilayah Ratahan di Minahasa Tenggara sekarang.

Akibat dari tindakan Damopoli’i yang memberikan mas kawin Tanah Besar itu kepada Pakasaan Tounkimbut, maka terjadilah perselisihan diantara kaum dan bangsa Bolaang dan Mongondouw yang telah menjadi satu bangsa itu. Kemudian, oleh kaum Mongondouw mengangkat Wantania di Rumoga (Dumoga) sebagai raja kaum Mongondow menggantikan Damopoli'i.

Maka, ketika Damapoli’i kembali ke Dumoga setelah selesai melakukan hajatan pernikahan dengan Teteon, didapatinya Wantania telah diangkat menjadi raja oleh kaum Mongondow, maka terjadilah perselisihan besar antara keduanya hingga melebar menjadi perang saudara antara kaum Bolaang dan Mongondow. Damopili’i kemudian meminta bantuan Pakasaan Tounkimbut dengan orang-orang gagah berani pergi berperang melawan dan mengalahkan kaum Mongondow pimpinan Wantania itu.

===

Awal Perang Malesung – Mongondow Pertama :

Pada sekitar akhir tahun 1500-an hingga awal 1600-an, ketika Ramokian (Damokian atau Mokian) diangkat menjadi raja Bolaang Mongondow, maka iapun ingin merebut kembali Tanah Besar yang telah dihibahkan sebagai mas kawin oleh Raja Damopolii kepada Pakasaan Tounkimbut itu.

Ramokian kemudian masuk ke Tanah Besar melalui sisi sungai Molompar lalu menduduki kembali seluruh wilayah Tanah Besar itu dari Pakasaan Tounkimbut dan Tountemboan. Maka terjadilah peristiwa perang, perampasan serta pendudukan oleh Ramokian di wilayah Tanah Besar itu. Bahkan, Ramokian melakukan invasi ke wilayah Belang-Ratahan yang ketika itu telah dihuni kaum Pasan-Wangko. Kemudian Ramokian mengultimatum kaum Pasan-Wangko dan memungut pajak dan upeti dari penduduk tersebut, dengan alasan bahwa negeri Tanah Besar yang didiami mereka adalah tanah wilayah milik Bolaang dan Mongondow.

Maka terjadilah kemudian, pengungsian besar sebagian kaum Pasan-Bangko dari wilayah Belang-Ratahan dengan berpindah tempat guna menghindar dari tekanan Ramokian, mereka kemudian pindah dan bercampur baur dengan Pakasaan Toulour, diwilayah-wilayah Remboken, Kakas dan Tondano.

Oleh karena itu, Ramokian pun mengirimkan utusan ke Pakasaan Toulour, mencari kaum Pasan-Wangko yang berpindah ke wilayah itu. Ramokian menyampaikan pesan untuk memungut bagi hasil dari kaum ini.
Namun apa yang terjadi, justru hal ini juga menimbulkan suatu peristiwa besar yang tak disangka-sangka oleh Ramokian, dimana kemudian tuntutan Ramokian ditolak mentah-mentah oleh para tua-tua atau Teterusan (pemimpin walak) diseluruh Toulour.
Dalam catatan J.F.G. Riedel, bahwa Teterusan Kakas yang ketika itu dipimpin oleh Montang (versi lain menyebutnya Wengkang) dan Ra’aniw. Kemudian oleh Wengkang dan Ra’aniw, pasukan suruhan dan utusan Ramokian itupun diusir dan dihalau hingga terjadi perang di Langowan, dan tinggal hanya sedikit dari utusan itu yang dapat lolos, dan dari mereka yang sempat lolos itu akhirnya menemui Ramokian dan melaporkan perlakuan yang mereka terima dari Teterusan Kakas di Pakasaan Toulour itu.

Melihat kenyataan itu, dimana pasukan utusannya yang dipukul mundur oleh Teterusan Kakas, maka Ramokian menambah pasukan dari Mongondouw lalu masuk hingga ke wilayah rata di Panasen, sedangkan Kakas yang dipimpin oleh Wengkang dan Ra’aniw mendapat bantuan pasukan dari saudara-saudaranya di Tondano yang dipimpin oleh Teterusan Gerungan. Pasukan Toulour ini mengatur strategi perangnya di Gunung Kaweng, kemudian turun menghadapi pasukan Ramokian di Panasen.

Alkisah, bahwa perang melawan Mongondow ini begitu dahsyatnya hingga menewaskan seorang ksatria Toulour bernama Mentang (versi lain menyebutnya Ka’at). Ksatria Mentang adalah ayah tiri dari Teterusan Walak Remboken bernama Retor.
Dan setelah peristiwa itu, pasukan Ramokian lalu mundur ke pantai Mangket (sekitar Kapataran).

===

Munculnya Pahlawan Retor "Si Tarumetor", bersama "Ksatria Sembilan Bayang-Bayang" dalam peran dan gelar "Rimangkai Im Banua" :

Mendengar ayah tirinya tewas dalam peperangan melawan Mongondow pimpinan Ramokian di Panasen, maka sakit hatilah Retor. Ketika mendengar berita itu, Retor sedang duduk dan bertapa di “Batu Sesepuhan (Sasapuan)” yang terletak di kampung Leleko, Remboken sekarang. Kemudian, maka naiklah Retor dari Batu Sasapuan itu ke bukit diatas tempat itu, dan berdiri menghadap ke arah wilayah Panasen, lalu berteriaklah Retor sekeras-kerasnya untuk melampiaskan amarahnya itu.

Ditempat itu, Retor berteriak keras-keras dan mengumandangkan pekikkan yang kemudian menjadi sangat terkenal dan menjadi “semboyan perang” bangsa Malesung mulai saat itu dan oleh bangsa Minahasa hingga saat ini.
Adapun, pekikan yang dikumandangkan Retor dari tempat itu berbunyi “I JAJAT U SANTI’, yang artinya “ANGKATLAH  PEDANGMU”, sebagai seruan untuk menyatakan perang.

Konon, “teriakan dan pekikkan” Retor itu menggema hingga ke seluruh penduduk Remboken bahkan keseluruh perkampungan dipinggiran danau Tondano (Toulour) itu. Maka, kemudian tempat dimana Retor berdiri mengumandangkan “pekikkan” I JAJAT U SANTI itu kemudian dinamakan “Patalinga’an” hingga sekarang, yang artinya “Tempat dimana TERDENGARNYA pekikkan atau seruan perang”.

Mendengar seruan Retor dari Patalingaan, datanglah beberapa teterusan (ksatria) Remboken menemui Retor di Batu Sasapuan. Mereka adalah Kembi (Kambil), Pakele, Sumayou (Sumoyop), Kawengian, Koagouw, Sumarauw, Kowaas dan Sendouw. Mereka itu yang adalah para ksatria, bersama-sama Retor kemudian oleh para pasukan perang Malesung disebut dengan “Ksatria Sembilan Bayang-Bayang” karena jumlah mereka adalah “sembilan orang” yang mampu bergerak cepat dan bagaikan bayang-bayang yang tak dapat ditebas parang dan tak dapat ditembus tikaman tombak.

Ketika sampai ditempat itu, mereka mendapati Retor sedang “kesurupan (kerasukan)” dengan menari-nari dengan pedangnya, mirip seperti sedang berperang, sehingga tarian itu kemudian menjadi terkenal hingga sekarang dengan sebutan “TARIAN KABASARAN”. 

(... Dalam perkembangan seni tari perang KABASARAN dikemudian hari hingga hari-hari ini, pemimpin tarian perang KABASARAN ini selalu disebut "MAKAPETOR", yang dalam pengertian aslinya adalah: "Yang Berperan Sebagai Retor, Si Pemimpin Perang Dengan Pedang Di Tangan" ...)

Sejak saat itu, ketika hendak memulai perang dan atau hendak menyerang musuh, Retor bagaikan kesurupan dan menari-nari perang, maka kemudian munculah panggilan nama baru buat Retor, yaitu “Si TARUMETOR”, yang artinya “Si Retor Yang Kesurupan dan Bernari-Nari Perang”

Maka, setelah para “Ksatria Sembilan Bayang-Bayang” itu berkumpul dan membuat strategi perang di Batu Sasapuan, maka majulah mereka dengan pimpinan Retor “Si Tarumetor” menuju Mangket (Kapataran) sembari memekikkan seruan perang “I Jajat U Santi” … !!!

Dalam bukunya “Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa” karya tahun 1862, J.G.F Riedel menggambarkan bahwa serangan Retor “Si Tarumetor” bersama teman-temannya yang tergabung dalam “Ksatria Sembilan Bayang-Bayang” itu telah menjadikan amuk dan huru-hara besar, menenggelamkan kapal-kapal dan perahu-perahu pasukan Mongondow, serta dengan pedangnya, Retor “Si Tarumetor” membunuh Raja Ramokian (Mokijan) serta memenggal kepalanya lalu kepala Ramokian itu dibawa dan disimpan di sebuah rumah di Remboken. Hingga pada hari dimana Riedel menulis buku itu, tengkorak Ramokian masih tersimpan di Rumah Loji di Remboken dan bahkan oleh sebagian orang tengkorak itu dijadikan sarana ritual untuk mengenang kemenangan Bangsa Minahasa melawan Mongondow, serta mengenang kepahlawanan Retor “Si Tarumetor”.

Dalam kisah dan peristiwa perang Malesung (Minahasa) melawan Mongondow pertama ini, telah menghasilkan beberapa hal penting, yaitu munculnya semboyan “Seruan Perang” bangsa Malesung (Minahasa), yaitu semboyan “I JAJAT U SANTI”, juga “Tarian Perang” Tarumetor yang kemudian dikenal dengan nama “KABASARAN” menjadi peninggalan budaya dan seni perang turun-temurun hingga sekarang.

Dan pula, satu hal yang patut menjadi catatan penting sejarah Minahasa, dimana bahwa sejak kemenangan perang yang dipimpin Retor “Si Tarumetor” itu, maka wilayah “TANAH BESAR” yang telah dipersengketakan oleh Mongondow itu, kemudian berhasil direbut kembali dari tangan Ramokian dan bangsa Bolaang Mongondow secara penuh dan kemudian menjadi milik dan wilayah Tanah Malesung (Minahasa), dengan Sungai Poigar sebagai batasnya yang dimulai pada waktu itu.

Wilayah Tanah Besar itu bukan saja kemudian hanya diduduki oleh Pakasaan Tounkimbut dan Tontemboan, tetapi juga oleh Pasan-Wangko dan Toulour, yaitu dengan membuat perkampungan-perkampungan di Modoinding dan Tompaso Baru hingga sekarang.

Dan atas peran dari Retor “Si Tarumetor” itulah, maka oleh para pemimpin Malesung ketika itu kemudian memberikan gelar bagi Retor “Si Tarumetor” dengan gelar yang sangat monumental hingga sekarang, yaitu gelar “RIMANGKAI IM BANUA” yang artinya, “YANG (TELAH) MENYATUKAN TANAH DAN WILAYAH MALESUNG (MINAHASA)”, karena TANAH BESAR diselatan itu berhasil direbut kembali dari kekuasaan Bolaang Mongondow.

Sejarah kemudian mencatat bahwa perseteruan-perseteruan antara Minahasa dan Mongondow ini tidak terlepas dari persoalan Tanah Besar itu, serta pula bagaimana keterlibatan para PEREMPUAN Minahasa yang cantik-cantik yang begitu mempesona para raja Mongondow itu, telah menjadi  juga salah-satu akar perseteruan yang berbuntut perang besar.
Bahkan, ketika Mongondouw kemudian dipimpin raja Loloda Mokoagow (Datu Binangkang / Winangkang), persoalan putri jelita Minahasa dan Tanah Besar kemudian menjadi sebab-musabab terjadinya perang.

Sejarah mencatat, seperti yang ditulis J.G.F. Riedel dalam bukunya “Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa” itu, bahwa kemudian, raja Loloda Mokoagouw terlibat dalam skandal “Pingkan-Matindas” yang melegenda serta keinginannya untuk merebut kembali Tanah Besar itu, telah menciptakan kondisi perang berkelanjutan antara bangsa Malesung dengan Mongondouw.

Dalam perkembangan berikutnya, perselisihan dan perseteruan kedua bangsa ini telah menimbulkan peperangan-peperangan besar berikutnya yang ikut melibatkan bangsa-bangsa Eropa yang masuk dan ingin memberikan pengaruh untuk suatu kepentingan seperti yang dilakukan oleh bangsa Portugis, Spanyol hingga Belanda.

Dari rangkaian peristiwa-peristiwa besar tersebut, justru telah pula melahirkan pahlawan-pahlawan bangsa Minahasa berikutnya yang begitu banyaknya, hingga kemudian pada suatu ketika muncul para penggagas persatuan bangsa Malesung dalam menghadapi gangguan Mongondow dan Spanyol, seperti: SUPIT, PAAT dan LONTOH yang mencetuskan semangat MAHASA atau MAESA, dimana istilah itu kemudian menjadi lebih dikenal dengan sebutan MINAHASA yang secara “de jure” diperoleh melalui pengakuan RESMI oleh bangsa Eropa, yaitu Belanda melalui PERJANJIAN yang disebut “VERBOND 10 JANUARI 1679”.

Pada perkembangannya selanjutnya, pada tanggal 21 September 1694, telah dibuat suatu kesepakatan antara kepala-kepala Walak dan Pakasaan Minahasa dengan Raja Bolaang Mongondow, Jacobus Manoppo, dimana Tanjung Poigar ditetapkan sebagai batas wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow.
Kemudian pada tanggal 12 Maret 1907, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 30, dengan menetapkan batas wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow adalah Sungai Poigar, Gunung Muntoi dan Danau Modoinding (Danau Moat) masuk menjadi milik Minahasa.

====

Sumber-sumber:
-          “Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa”, JFG Riedel (1862)    
-      ---- Berbagai sumber buku dan bacaan ----
-     ---- Berbagai sumber cerita & tuturan (folklore) rakyat Minahasa ---

===

21 komentar:

  1. Jika nama tarian perang Minahasa benar adalah "Kabasaran" yang dikenal sekarang sesuai dengan catatan Riedel maka itu tidak dapat dibantah. Namun jika tarian itu hanya disebut "tarian perang Tarumetor", maka saya himbau agar kita tidak lagi menggunakan sebutan "kabasaran". Alasan saya ada dua hal:
    Pertama, mungkin saja kita menggunakan kata "kabasaran" itu hanya karena dewasa ini kita tidak lagi menggunakan tarian itu untuk berperang tetapi hanya dipakai untuk acara-acara "besar" dan sifatnya seremonial seperti untuk menyambut tamu, perayaan pawai atau devile ketika merayakan hari kemerdekaan, dan seremonial lainnya.
    Kedua, perlu diketahui sebagai mana diceriterakan juga oleh orang-orangtua remboken (termasuk papa saya Piet Koagouw) bahwa dalam tarian perang Tarumetor ini ada semacam aba-aba yang menyatakan seperti: "Wetaan Kelung .... wo Sumakalele" (artinya letakkan perisai dan mulailah menari cakalele/menari perang). Aba-aba tersebut menggambarkan semangat heroik dari para kesatria Minahasa yang bahkan mereka siap berperang berhadap-hadapan dengan tidak takut tanpa menggunakan perisai hanya dengan meenggunakan pedang. Oleh sebab itu saya melihat bahwa perubahan nama tarian yang dulunya di masa kecil saya mengenal tarian perang ini dengan sebutan "tarian cakalele (dari sumakalele)mungkin saja ulah dari para pejabat tertentu di masa lalu(tidak tahu siapa hanya dugaan)untuk membedakan dari sebutan yang sama yang digunakan oleh para kesatria Maluku di masa dahulu yg memang tidak dapat disangkal bahwa di daerah-daerah tertentu di Indonesia bgn Timur dalam banyak penggunaan kata-kata memiliki kesamaan baik kata maupun artinya. Yang saya khawatirkan ialah ketika kita berupaya memberi identitas terhadap budaya kita justru harus melepaskan keaslian atau orisinalitas yg ada sejak awalnya. Ini menjadi keprihatinan saya.
    Namun bagaimanapun cerita yg orisinil tentang kepahlawanan Retor dan kawan-kawannya sungguh sangat membanggakan dan saya patut berterima kasih atas info dari bung David Mumekh karena mengutip info ini dari Riedel yg nota bene merupakan saksi hidup dari kejadian di Minahasa tempo doeloe. Semoga dapat memberikan lebih banyak info yg lain lagi tentang Minahasa tempo doeloe yg pasti kita orang Minahasa haus akan pengetahuan ttg negeri Minahasa yg kita cintai bersama. GBU.
    Dari Drs. Ferry Koagouw, MSi.

    BalasHapus
  2. Saya senang dengan adanya tulisan sejarah Minahasa yang sangat luar biasa, dan saya sebagai Orang Tolour sangat bangga dengan pasukan 9 bayangan yang di pimpin Tuama Retor, namun sangat disayangkan nama tarian diatas dirubah, klu bisa bagi permerhati budaya bisa mengembalikan nama yang sesungguhnya tanpa harus merubahnya...

    BalasHapus
  3. Kemudian, terjadilah suatu peristiwa besar yang memicu terjadinya perang besar di negeri Bolaang Mongondouw itu, yaitu dimulai oleh suatu peristiwa “Perang Saudara” untuk perebutan kekuasaan kerajaan antara Datu Poli’I (Ramopoli'i atau Damopili’i) dari keturunan Intu-intu dari bangsa Rumojoporong (cikal bakal bangsa Bolaang) yang menjadi raja di Bolaang Mongonndow itu, dengan Wantania seorang keturunan bangsa Mongondouw yang telah pula diangkat menjadi raja di Rumoga (Dumoga).

    SANGGAHAN atas tulisan pada paragraph tersebut:
    Tidak ada “perang saudara” perebutan kekuasaan antara Datu Poli.’ Atau yang disebut pada tulisan di atas Ramopoli’I ataupun Damopoli’i, di Bolaang Mongondow. Terlebih juga yang disebut bangsa Rumojoporong yang diklaim cikal bakal bangsa Bolaang. Entah dicomot dari mana ini Rumojoporong, hanya JGF Riedel yang tahu.

    ……………………………….

    PARAGRAF SELANJUTNYA PADA TULISAN DI ATAS :
    Di sekitar tahun 1450, adalah Raja Datu Poli’I (Damopili’i), pemimpin bangsa Bolaang itu, mengambil seorang isteri nan rupawan dan cantik jelita bernama Teteon (ada yang menyebutnya Uwe Randen), putri dari Tiwow-Karangan, yaitu dari keturunan Rusu-Langie (penguasa) pertama dari Pakasaan Tounkimbut (wilayah Tareran sekarang) dari suku Tountemboan. Dari perkawinan ini, raja Datu Damopoli’i kemudian menghibahkan (mas kawin) Tanah Lewet kepada Pakasaan Tounkimbut. Tanah Lewet ini juga disebut Tanah Besar, karena wilayahnya melingkupi Amurang, Motoling hingga Modoinding yang sekarang menjadi wilayah Minahasa Selatan, serta sebagian wilayah Ratahan di Minahasa Tenggara sekarang.

    SANGGAHAN atas tulisan pada paragraph tersebut:
    Tahun 1450 tidak ada Raja maupun Datu bernama Poli’I atau yng disebut Damopoli’i. Terlebih disebut bangsa Bolaang.
    Tidak ada juga Raja Mongondow atau disebut juga Raja Rumoga atau Dumoga dalam khasanah sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow bernama Wantania. Artinya, hanya JGF Riedel yang tahu siapa itu Wantania.
    Untuk memudahkan, berikut ini susunan Raja Bolaang Mongondow sejak jaman Punu, Datu, hingga Raja terakhir :
    1) 1400 – 1460: Punu` Mokodoludut
    2) 1460 – 1480: Punu` YayuBangkai
    3) 1480 – 1510: Punu` Damopolii
    4) 1510 – 1540: Punu` Busisi
    5) 1560 – 1600: Punu` Mokodompit
    6) 1600 – 1650: Punu` Tadohe
    7) 1653 – 1694: Raja Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang
    8) 1694 – 1695: Raja Yakobus Manoppo
    9) 1695 – 1731: Raja Fransiscus Manoppo
    10) 1735 – 1748 dan 1756 – 1764: Raja Salomon Manoppo
    11) 1764 – 1767: Raja Eugenius Manoppo
    12) 1767 – 1770: Raja Christofeel Manoppo
    13) 1770 – 1773: Raja Markus Manoppo
    14) 1773 – 1779: Raja Manuel Manoppo
    15) 1825 – 1829: Raja Cornelius Manoppo
    16) 1829 – 1833: Raja Ismail Cornelis Manoppo
    17) 1833 – 1858: Raja Yakobus Manuel Manoppo
    18) 1858 – 1862: Raja Adreanus Cornelis Manoppo
    19) 1862: Raja Yohanes Manuel Manoppo
    20) 1886 – 1893: Raja Abraham Sugeha atau Datu Pinonigad
    21) 1893 – 1901: Raja Riedl Manuel Manoppo
    22) 1901 – 1928: Raja Datu Cornelius Manoppo
    23) 1928 – 1938: Raja Laurens Cornelius Manoppo
    24) 1947 – 1950: Raja Henny Yusuf Cornellius Manoppo

    Jadi siapa Raja Wantania?
    Hanya JGF Riedel yang tahu karena dialah yang mengarang ini.

    ………………………………………………………….


    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Menurut beberapa penulis dan peneliti Bolaang Mongondouw, bahwa sejarah raja-raja Bolaang Mongondouw ada banyak yang dikaburkan ....
      Salah-satu tulisan yang saat ini menjadi acuan atau pedoman sejarah Bolaang Mongondouw adalah buku berjudul "Over De Vorsten Van Bolaang Mongondow" ("Hikayat Raja-Raja Bolaang Mongondouw") yang ditulis Tahun 1984 oleh W. Dunnebier, seorang misionaris Belanda ....
      Namun, dalam bukunya tersebut, W. Dunnebier justru mengakui bahwa penulisan sejarah Raja-Raja Bolaang Mongondouw yang ditulisnya itu adalah berdasarkan "pesanan" penguasa dimasa itu, dengan pembatasan-pembatasan sesuai kepentingan penguasa .... Maka, oleh karena itulah maka sejarah raja-raja Bolaang Mongondouw pada saat ini menjadi kabur .... maka, bisa saja nama Wantania dan atau kisah "perang saudara" antara Wantania dan Damopolii/Ramopolii ikut pula dikaburkan dan atau terkaburkan .... hehehe ....

      Terlepas daripada persoalan kabur-mengabur diatas itu, saya kira tidak tepat jika dibilang bahwa JFG Riedel asal comot nama dan soal asal-usul bangsa Bolaang Mongondouw .... JGF Riedel menulis berdasarkan cerita rakyat atau folklore pada masa itu .... Jika ada kesalahan, tentu saja yang salah adalah yang "bercerita" kepada JGF Riedel ..... Nah, apakah cerita rakyat dimasa itu salah ? .... Tentu saja cerita rakyat itu bukanlah suatu kebenaran .... namanya juga cerita ... tapi, cerita yang kemudian dibukukan pada tahun 1874 itu akan lebih valid dan lebih mendekati cerita sesungguhnya daripada cerita rakyat masa kini .....

      Hapus
    3. Cikal bakal bangsa Bolaang adalah dari keturunan Rumojoporong, adalah berdasarkan penuturan cerita orang Minahasa pada waktu itu .... namun, jika dikaitkan dengan beberapa informasi mengenai nama Bolaang itu berdasarkan cerita bangsa Bolaang, maka ada "benang merah" yang dapat dihubungkan dengan cerita orang Minahasa sebagaimana yg ditulis JGF Riedel ....

      Jika kita membaca situs website Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow, yaitu: bolmongkab.co.id/sejarah/ maka akan kita temukan kata Bolaang itu berasal dari kata "Bolango" atau "Balangon" yang artinya "LAUT" ..... Dari asal kata "LAUT" tersebut, dapat dipersepsikan bahwa bangsa Bolaang adalah bangsa "pelaut" atau bangsa yang pernah hidup dari mengarungi lautan .....

      Sedangkan dalam seri "Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa" itu, JGF Riedel mengutip cerita orang Minahasa bahwa bangsa Rumojoporong adalah keturunan Toar Lumimuut yang kemudian mendiami pulau "Punten Ni Rumojoporong", yaitu pulau Lembeh sekarang ini ..... Rumojoporong memiliki seorang pengawal yang sangat kenamaan dan ditakuti karena kesaktiannya, yaitu Sijouw Kurur .... Tapi kemudian, Sijouw-Kurur berpindah tempat sendiri kewilayah Pinaras dan membangun perkampungan disana ....
      Diceritakan bahwa sebagian keturunan Rumojoporong juga berpindah dari pulau Lembeh ke wilayah Tonsea melalui Tanjung Pulisan dengan seijin dari pengulu Tonsea yaitu, Mogogimbun dan Rotih, kemudian mereka ikut hidup bercampur baur dengan bangsa Tonsea ....
      Pada masa pemerintahan datu Intu-Intu di pulau Lembeh, masuklah sekelompok perompak dari timur (orang-orang Moro-Ternate) di Lembeh .... namun, terjadi sengketa besar sehingga keturunan Rumojoporong pun akhirnya memilih keluar dari pulau Lembeh lalu menjadi "PENGELANA LAUTAN" ..... Mereka hidup berpindah-pindah dari suatu pulau ke pulau lainnya, dan dari suatu daratan ke daratan lainnya ...... mereka sempat menyusuri pulau-pulau di Sangihe Talaud, yaitu Bangka, Talise, Siauw, Manarou (Manado Tua), dan lain-lain .... namun, dimana mereka mendarat, selalu terjadi perseteruan dengan penduduk disitu, sehingga mereka selalu terusir ...
      Namun pada akhirnya, bangsa Rumojoporong ini masuk ke daratan Mongondow melalui sungai Lombagin .... Ketika mereka turun ke daratan itu dan bertemu dengan penduduk Mongondow, mereka memperkenalkan diri sebagai orang "LAUT" yang dalam bahasanya disebut "BOLANGO" ATAU "BALANGON' yang pada akhirnya menjadi "BOLAANG" ....

      Dan turunan taranak Rumojoporong yang sudah menjadi bangsa Bolaang ini hidup berdampingan dengan bangsa Mongondow, serta bahkan kemudian pada suatu masa, tetua bangsa dari turunan Rumojoporong ini, yaitu datu Poli'i kemudian diangkat menjadi raja di Dumoga ..... Datu Poli'i oleh orang Mongondow disebut Ramapoli'i dan atau Damopoli'i ....

      Hapus
  4. PARAGRAF SELANJUTNYA PADA TULISAN DI ATAS (Awal Perang Malesung – Mongondow Pertama) :

    Pada sekitar akhir tahun 1500-an hingga awal 1600-an, ketika Ramokian (Damokian atau Mokian) diangkat menjadi raja Bolaang Mongondow, maka iapun ingin merebut kembali Tanah Besar yang telah dihibahkan sebagai mas kawin oleh Raja Damopolii kepada Pakasaan Tounkimbut itu.

    SANGGAHAN atas paragraph tersebut :

    Tidak ada nama Ramokian atau Damokian atau Mokian dalah sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow (Susunan Raja-Raja Bolaang Mongondow). Dan pada tahun 1500an atau 1600-an, (adalah jaman ke-Punu-an), tidak disebut Raja melainkan Punu, dan Punu ketika itu adalah :

    Punu` Mokodompit (1560 – 1600),
    Punu` Tadohe (1600 – 1650)
    Datu Binangkang atau Loloda Mokoagow (1653 – 1694) dilanjutkan oleh anaknya bernama
    Raja Yakobus Manoppo (1694 – 1695)

    Jadi siapa Raja Ramokian, Damokian, atau Mokian?
    Sekali lagi, hanya JGF Riedel dan penulis blog ini yang tahu karena demikianlah karangan Riedel.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut beberapa penulis dan peneliti Bolaang Mongondouw, bahwa sejarah raja-raja Bolaang Mongondouw ada banyak yang dikaburkan ....
      Salah-satu tulisan yang saat ini menjadi acuan atau pedoman sejarah Bolaang Mongondouw adalah buku berjudul "Over De Vorsten Van Bolaang Mongondow" ("Hikayat Raja-Raja Bolaang Mongondouw") yang ditulis Tahun 1984 oleh W. Dunnebier, seorang misionaris Belanda ....
      Namun, dalam bukunya tersebut, W. Dunnebier justru mengakui bahwa penulisan sejarah Raja-Raja Bolaang Mongondouw yang ditulisnya itu adalah berdasarkan "pesanan" penguasa dimasa itu, dengan pembatasan-pembatasan sesuai kepentingan penguasa .... Maka, oleh karena itulah maka sejarah raja-raja Bolaang Mongondouw pada saat ini menjadi kabur .... maka, bisa saja nama Ramokian / Damokian / Mokian dan atau kisah tentangnya ikut pula dikaburkan dan atau terkaburkan .... hehehe ....

      Terlepas daripada persoalan kabur-mengabur diatas itu, saya kira tidak tepat jika dibilang bahwa JFG Riedel asal comot nama dan soal asal-usul bangsa Bolaang Mongondouw .... JGF Riedel menulis berdasarkan cerita rakyat atau folklore pada masa itu .... Jika ada kesalahan, tentu saja yang salah adalah yang "bercerita" kepada JGF Riedel ..... Nah, apakah cerita rakyat dimasa itu salah ? .... Tentu saja cerita rakyat itu bukanlah suatu kebenaran .... namanya juga cerita ... tapi, cerita yang kemudian dibukukan pada tahun 1874 itu akan lebih valid dan lebih mendekati cerita sesungguhnya daripada cerita rakyat masa kini .....

      Hapus
    2. Dari berbagai sumber, Bolaang Mongondow sendiri pernah terbagi dalam beberapa kerajaan, yaitu,:
      1. Kerajaan Bolaang Mongondow berkedudukan di Bolaang
      2. Kerajaan Bolango yg kemudian berubah menjadi Kerajaan Bolaang Uki, berkedudukan di Walugu
      3. Kerajaan Bintauna
      4. Kerajaan Bolaang Itang
      5. Kerajaan Kaidipang berkedudukan di Buroko

      Nah, ... soal nama seorang raja atau datu bernama Mokian atau Ramokian, Ramokion dan atau Damokian, mungkin saja pernah menjadi raja disalah-satu kerajaan yang pernah ada di negeri Totabuan itu .... karena yang tercatat hanyalah para raja-raja Bolaang Mongondow, sedangkan raja-raja di kerajaan Bolango Bolaang Uki, Bolaang Itang, Bintauna dan Kaidipang lainnya disana tidaklah punya catatan ......

      Namun, setelah menelusuri berbagai sumber informasi, ditemukan adanya sebuah nama DAMOKIONG sebagai salah-satu nama yang diakui sebagai psalah-satu keturunan MODODATU atau keturunan para datu Binangkang yang pernah memerintah di negeri Totabuan itu ... (http://onenusantara.blogspot.com/2011/10/raja-raja-bolaang-mongondow.html) ... ... Artinya, bisa saja yang dimaksud MOKIAN, RAMOKIAN atau DAMOKIAN dlm bukunya JGF Riedel itu adalah "DAMOKIONG" sebagaimana yang termaktdub dalam blogsite kajian sejarah raja-raja Bolaang Mongondow tersebut ....

      Hapus
  5. Kemudian pada PARAGRAF TERAKHIR TULISAN DI ATAS sebagai berikut :

    Pada perkembangannya selanjutnya, pada tanggal 21 September 1694, telah dibuat suatu kesepakatan antara kepala-kepala Walak dan Pakasaan Minahasa dengan Raja Bolaang Mongondow, Jacobus Manoppo, dimana Tanjung Poigar ditetapkan sebagai batas wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow.
    ................

    SANGGAHAN ata paragraf tersebut :

    Batas2 yang disebutkan di atas, dibuat Raja Jacobus Manoppo dengan VOC-Belanda, bukan dengan walak2 dan pakasaan. Kontrak dibuat setelah Raja Loloda Mokoagow (Ayah Jacobus) meninggal di Toedoe In Bakid dan dimakamkan di Poyowa Besar.

    Oleh Belanda, Jacobus diminta meninggalkan istana di Manado dari istana saat ayahnya Loloda Mokoagow pernah berkuasa sebagai raja Manado.

    Kontrak yang di buat Raja Jacobus Manoppo dan VOC adalah pengelolaan wilayah Manado dan sebagian wilayah Minahasa membentang jauh ke sisi barat sampai wilayah Poigar, Pontak sampai Buyat. Setelah kontrak di buat Raja Jacobus Manoppo harus meninggalkan Manado dan Amurang dan menetap di Istana di Bolaang.

    Setelah Raja Jacobus Manoppo meninggalkan wilayahnya dahulu otomatis wilayah Manado dan sekitarnya di atur sepenuhnya oleh VOC, berikut isi kontrak Kepala suku Minahassan dan V.O.C. yaitu ;

    Di wilayah Manado, terdapat poin utama sebagai berikut :

    Kepala Minahasa:

    1. V.O.C. adalah penguasa tertinggi;
    2. kepala daerah menerima kewajiban untuk mendukung V.O.C;
    3. Minahasa mempertahankan Benteng Amsterdam di Manado;
    4. Kewajiban Minahasa untuk membangun jembatan dan tanggul;
    5. Minahassan wajib membangun gudang;
    6. Minahassan wajib mengirimkan beras.

    VOC :

    1. perlindungan kepala suku Manado dan subjeknya;
    2. perlindungan suku Minahasa lainnya (dengan syarat seharusnya
    mengakhiri penghormatan kepada Sultan Bolaang
    3. tidak ada kewajiban Minahasa untuk membayar pajak;
    4. tidak ada pengiriman kayu yang dipaksakan.

    Sumber :
    Minahassa, a summarized
    history Dirk Teeuwen MSc, Holland

    Sumitro Tegela : http://historybmr.blogspot.com/2017/10/kontrak-ratifikasi-perjanjian-antara.html

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini yang ada di Wikipedia:

      "However, on September 21, 1694, a contractual agreement to establish new territorial borders was signed between the Kingdom of Bola'ang and the newly unified federation of Minahasan tribes, backed by the Dutch."

      Salinannya:

      "Akan tetapi, pada tanggal 21 September 1694, sebuah perjanjian kontrak untuk menetapkan batas-batas wilayah baru ditandatangani antara Kerajaan Bola'ang dan federasi suku Minahasa yang baru disatukan, didukung oleh Belanda.

      https://en.wikipedia.org/wiki/Kingdom_of_Bolaang_Mongondow

      Hapus
  6. Selanjutnya soal skandal yang disebutkan dalam artikel di atas, soal Loloda Mokoagow dan Pingkan, adalah jauh dari fakta kecuali karangan penulis semata.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan ketik "Loloda Mokoagouw" di link dibawah ini, maka anda bisa mendapatkan salah satu kalimat yang dapat dihubungkan antara tanah Lewet yg dihadiahkan Damopolii kepada Uwe Randen, hingga persoalan tanah itu sampai pada masa Loloda Mokoagouw ....:

      https://books.google.co.id/books?id=UB-Rym4NxlsC&pg=PA6&lpg=PA6&dq=raja+mongondow+%221450%22&source=bl&ots=4pQ4wa0hLQ&sig=ACfU3U1wQKk2-_Zp-oKkMkqCphjyXv45Kw&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwj5nbvos5rsAhXNbn0KHbpBD58Q6AEwEXoECAcQAg#v=onepage&q=raja%20mongondow%20%221450%22&f=false

      Hapus
    2. Cerita rakyat "Pingkan Matindas" sudah membumi bagi seluruh orang Minahasa .... kecuali anda bukan orang Minahasa, maka anda pasti "ngak ngeh" dengan cerita itu .... hehe ....

      Hapus
    3. Dalam lappran utama majalah TABEA, Edisi 3 Thn 2010, dlm tajuk berjudul Etnik Minahasa, Steven Sumolang telah pula menuliskan dan mempertegas sengketa Tanah Lewet yang terus berlanjut hingga masa Loloda Mokoagouw, ...

      Hapus
  7. Mengenai VERBOND 10 JANUARI 1979, coba kunjungi Blogspot dari Bode Talumewo (http://bode-talumewo.blogspot.com/2008/10/terjemahan-verbond-10-januari-1679.html)

    Ini kutipan Verbond 10 januari 1679 diambil dari Blog tersebut :

    TERJEMAHAN
    VERBOND 10 JANUARI 1679

    Perjanjian dan ikatan yang diadakan oleh Gubernur Maluku, Robertus Padtbrugge atas nama Yang Mulia Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens dan Dewan Hindia yang mewakili de Nederlandsche g’octroyeerde Oost Indische Compagnie (Kompeni Hindia Timur Belanda pemegang hak monopoli) dan Negara Belanda Serikat di satu pihak, dan para ukung serta seluruh masyarakat dari daerah Manado atau ujung paling utara dari Selebes di pihak lain.

    Semua ukung dari Aris, Clabat, Bantik, Klabat-Atas (=Maumbi), Kakaskasen, Tomohon, Tombariri, Sarongsong, Tounkimbut-Bawah (=Sonder), Tounkimbut-Atas (=Kawangkoan), Rumoong, Tombasian, Langoan, Kakas, Remboken, Tompasso, Tondano, Tonsea, Manado, Tonsawang dan Pasan yang mewakili Ratahan dan Ponosakan, telah menyatakan bahwa mereka telah turun ke Manado atas panggilan untuk mengadakan rapat, dan atas permintaan mereka bersama, dan dengan syarat bahwa ukung sampai akhir hayat mereka akan tetap cinta dan setia pada Kompeni, yang telah berjanji, bahwa kami tidak akan meninggalkan para ukung, atau memberi kesempatan Raja Bolaang berkuasa kembali, baik atas daerah ini maupun atas orang-orangnya, oleh karena bukan mereka yang meninggalkan raja, tetapi rajalah yang meinggalkan mereka dan telah berusaha dengan segala cara untuk menyulitkan dan merugikan mereka, hal mana di samping yang lain-lain, telah mendorong mereka untuk mencetuskan permintaan ini.

    Selanjutnya, bahwa dalam rapat hal-hal di bawah ini telah dibahas, diperbincangkan, dan sesudah dipikirkan masak-masak, telah disepakati untuk mencatatnya dalam bahasa Belanda kita sesuai permintaan mereka yang pantas serta kehendak mereka yang sangat besar, agar senantiasa dapat diketahui oleh para gubernur dan para kepala pemerintahan Maluku, apa yang mereka telah janjikan dan luaskan, begitu pula apa yang telah dijanjikan dan diluaskan pada mereka, yaitu:
    (1)

    Bahwa hanya Kompeni yang mereka anggap dan akui sebagai satu-satunya yang dipertuan yang sah untuk selama-lamanya (?), dan di samping Tuhan Allah, kini dan selanjutnya, tidak ada orang lain yang diakui dan akan diakui, dan bahwa semua ini telah dilakukan atas kehendak sendiri tanpa paksaan.

    (2)

    Berjanji bersatu-padu dengan setia, mendampingi dan membantu Kompeni menghadapi segala kemungkinan dengan harta kekayaan, daerah dan segala kesanggupan.

    BalasHapus
  8. (3)

    Untuk itu menyanggupi, akan menyediakan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemeliharaan perbentengan, seperti pagar tembok, perbaikan, pembaruan dan penambahan bahan bangunan yang dirasa perlu seperti kapur, batu, pasir, tiang-tiang kayu untuk laras dan roda, balak, bambu, atap, kaso dan apa saja yang diperlukan dan selanjutnya apa yang diperlukan dalam suatu pertahanan perang atau penyerangan, tanpa bayaran.
    (4)

    Termasuk tugas dalam benteng adalah, membuat dan memelihara dermaga menuju pantai dan membangun serta memelihara tanggul dan selanjutnya segala sesuatu yang diperlukan untuk kepentingan tanah air.
    (5)

    Kelima, mereka berjanji untuk mengusahakan bahwa senantiasa akan tersedia satu rumah Kompeni yang baik, pantas dan besar di samping satu gudang yang baik agar supaya segala sesuatunya akan aman, untuk kain-kain yang akan ditumpuk di sini untuk keperluan perdagangan padi, dan padi hasil tukaran yang pula akan disimpan di dalamnya. Mereka pun berjanji pada Kompeni, akan memasukkan padi yang baru, bersihdan ditapis dengan baik, sehingga dari dua bagian padi dapat diperoleh satu bagian beras, untuk mana Kompeni akan mendatangkan satu mesin menyaring dan memerintahkan para pegawai untuk mengawasinya, karena katanya mereka tidak dapat bertanggung jawab atas adanya dedak yang secara tidak jujur dapat dimasukkan oleh para petugas Kompeni; tetapi mengenai beras, dinyatakan dengan berbagai alasan, bahwa mereka hanya dapat memasukkannya untuk keperluan kapal-kapal berdasarkan pembicaraan terdahulu.

    Setelah semuanya setujui, maka kepada mereka diberikan pula bersama ini, atas nama Kompeni, dijanjikan sebagai berikut:

    (1)

    Bahwa semua ukung, daerah serta orang-orangnya baik yang hadir maupun yang tidak hadir, akan dianggap dan diterima sebagai bawahan Kompeni yang jujur dan setia, yang harus dijaga, dilindungi, dijamin keamanan dan dibantu mengahadapi siapa pun yang akan mengganggu, merusak, menghina, hal mana berlaku pula atas kebun, kampung, tanaman, ternak, hak milik, orang-orang, perempuan, anak-anak, budak-budak atau apa saja yang ada hubungan dengan itu.
    (2)

    Dalam perjanjian ini dapat pula diturutsertakan orang-orang Tonsawang, Ratahan, Ponosakan dan juga bahagian tertentu dari Bantik (=Bantik Alifuru), bila mereka mengakhiri segala pengabdian kepada Raja Bolaang, yang kini masih terlihat, di luar mana hal ini tidak berlaku bagi mereka.
    (3)

    Bahwa semua mereka yang telah dinyatakan berada di bawah naungan Kompeni, dibebaskan sama sekali dari segala sesuatu, sama sekali tidak membayar sesuatu imbalan, balas budi atau utang, kecuali apa yang disepakati bersama dalam keadaan darurat atau menghadapi musuh, dalam hal mana Kompeni tidak menginginkan yang lain, selain pernyataan kejujuran yang langgeng dan simpati.
    (4)

    Untuk membuktikan maksud baiknya, maka sejak sekarang mereka tidak akan mengeluarkan lagi, baik dari darat maupun dari luar (=pulau-pulau sekitar), kayu hitam, dengan segala alasan apa pun, biarpun atas nama gubernur; dalam hal kapal-kapal dan tongkang-tongkang maka berdasarkan persetujuan terdahulu, harus disediakan keperluan untuk kegunaanpelayaran, seperti balok dan semacamnya, dan tanpa barang-barang tersebut kapal-kapal tidak akan dapat berlayar.

    BalasHapus
  9. Segala persetujuan yang diadakan oleh seluruh ukung dan masyarakat dengan Kompeni dan janji yang diberikan oleh Gubernur Robertus Padtbrugge kepada semuanya, atas nama Kompeni, berdasarkan janji dari kedua belah pihak, akan dipelihara dengan tulus ikhlas, tanpa cidera, tanpa dikurangi dans ecara jujur, tetapi karena orang-orang ini tidak mempunyai pengetahuan dan pengertian mengenai tulis-menulis, untuk soal ini mereka meminta sebagai saksi, juru bahasa Bastiaan Saway, ukung Mandij, Kapten Pacat Soepit (=Ukung Pacat Soepit) dan Pedro Ranty, yang mengerti betul terjemahan dan apa yang telah diterjemahkan dalam bahasa Melayu; dan agar segala sesuatu itu dapat memperoleh kekuatan yang lebih besar, segala sesuatu yang tertulis itu diserahkan pada mereka setelah diresmikan dan dicap, yang pada waktunya akan disalin ke dalam bahasa mereka dengan huruf kita (=Latin), untuk dapat dibacakan sewaktu-waktu kepada rakyat, dan agar supaya isinya dapat pula diketahui oleh anak keturunan mereka.

    Sekianlah yang dibuat dan diputuskan di Manado dalam Benteng Amsterdam pada tanggal 10 Januari 1679.


    (tertanda)
    Robertus Padtbrugge,
    dan atas nama daerah (=Daerah Manado)
    tercantum tanda-tanda dari
    juru bahasa Bastiaan Saway,
    Ukung Mandij,
    para Kapten Pacat Soepit dan Pedro Ranty,
    (dengan cap Kompeni dalam lak merah)
    atas perintah dari Gubernur Robertus Padtbrugge,
    tanggal dan tahun tersebut di atas dan
    tertanda
    Christiaan Hasselberg

    BalasHapus
  10. Sebaiknya ini Mr Unknown menunjukkan jati diri, paling tidak ada nama, dan atau foto diri, supaya mungkin sapa tau boleh torang kopi darat .... hehe ....

    BalasHapus
  11. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  12. Ketika Belanda atau VOC mau menandatangani suatu PERJANJIAN dengan pihak Minahasa, maka itu berarti bahwa ada suatu PENGAKUAN oleh Belanda terhadap EKSISTENSI sebuah bangsa, yaitu Bangsa Minahasa ....

    BalasHapus